Artikel

BAPEKAN, Kiprah Sri Sultan Hamengkubuwono IX dalam Mengawasi Aparatur Negara
Berbicara mengenai kiprah dan perjalanan hidup Sri Sultan Hamengkubuwono IX, kita akan dihadapkan pada perkembangan pemerintahan Republik Indonesia di masa awal kemerdekaan. Hal tersebut tidaklah mengherankan mengingat kiprah perjalanan politik Sri Sultan Hamengkubuwono IX memiliki peran sentral saat itu. Pada saat Indonesia diproklamirkan sebagai sebuah negara merdeka, beliau memiliki peran penting dalam pembangunan Republik Indonesia. Hal tersebut dibuktikan dengan dikeluarkannya Maklumat 5 September 1945 oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang berisi tentang pengakuan kemerdekaan Republik Indonesia serta penggabungan Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat ke dalam Republik Indonesia dengan status daerah istimewa.
Tidak hanya sekadar pengakuan kemerdekaan Republik Indonesia, Sri Sultan Hamengkubuwono IX juga menawarkan serta mempersilahkan pemerintahan dijalankan di Yogyakarta. Ibu kota pun akhirnya dipindah dari Jakarta ke Yogyakarta pada tahun 1946. Bahkan, seluruh biaya operasional pemerintahan pusat ditanggung oleh Keraton Yogyakarta serta Kadipaten Pakualaman. Dan, Ketika ibu kota dikembalikan ke Jakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX masih memberikan bantuan keuangan sebesar 6 juta gulden kepada pemerintah Indonesia.
Pasca perang mempertahankan kemerdekaan atau perang revolusi, karier politik Sri Sultan Hamengkubuwono IX semakin melesat. Hal tersebut dibuktikan dengan pernah menjabatnya beliau sebagai Menteri Pertahanan, Menteri Koordinator Ekonomi Keuangan dan Industri, Wakil Perdana Menteri, hingga Wakil Presiden, mendampingi Presiden Soeharto. Selain itu dalam bidang pendidikan dan sosial, Sri Sultan Hamengkubuwono IX pernah menjabat sebagai Ketua Kwartisr Nasional Gerakan Pramuka, hingga mendapat julukan sebagai “Bapak Pramuka Indonesia”.
Capaian tersebut tidak diperoleh hanya karena jabatan politiknya sebagai Raja Kasultanan Yogyakarta, namun murni karena pemikiran serta tindakan progresif seorang pemuda Jawa yang dibesarkan dalam lingkungan yang sebenarnya cukup kontradiktif. Lingkungan feodal keraton dan lingkungan liberal Barat. Namun dibalik capaian politik yang fantastis tersebut, banyak dari masyarakat yang belum mengetahui kiprahnya dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Gejolak Politik Masa Demokrasi Parlementer
Pembahasan seputar dinamika Demokrasi Parlementer menjadi landasan penting untuk kita mengetahui pertempuran elite politik di usia republik yang tergolong masih “piyik”. Di tengah usianya yang masih muda, Republik Indonesia harus dihadapkan dengan sejumlah permasalahan. Mulai dari kekerasan tribal, kemiskinan masif, pemberontakan di sejumlah daerah, hingga penyelewengan jabatan sejumlah elite politik. Hal tersebut mencapai puncaknya pada masa demokrasi parlementer (1950-1959).
Pada masa Demokrasi Parlementer gejolak politik acap kali melanda Republik Indonesia. Hal tersebut nampak dengan adanya pergantian atau pembubaran kabinet yang kurang mendapat dukungan politik dari berbagai fraksi atau bahkan diberi mosi tidak percaya oleh sejumlah fraksi. Mosi tidak percaya yang dikeluarkan sebenarnya banyak dilatarbelakangi oleh kepentingan sejumlah elite politik yang ingin berkuasa.
Akibat dari sejumlah permasalahan tersebut, negara selanjutnya dinyatakan dalam keadaan darurat. Kekuasaan berpindah dari tangan pemerintahan sipil ke tangan militer yang disebut Penguasa Perang Pusat (Peperpu). Mayor Jenderal A.H. Nasution diberi mandat sebagai ketuanya. Presiden Sukarno pun merespons situasi darurat akibat menjamurnya korupsi dalam tubuh pemerintahan. Hal tersebut disampaikan dalam pidatonya pada tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Dalam kesempatan tersebut, Sukarno menyatakan dibentuknya sebuah lembaga anti rasuah yang bernama Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (BAPEKAN). Landasan hukum pembentukan Bapekan adalah Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 1959.
Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Bapekan
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 1959 tersebut, Bapekan mempunyai tugas untuk melakukan pengawasan dan penelitian terhadap kegiatan aparatur negara, serta pengurusan dan pengaduan seputar laporan terkait penyimpangan yang diduga melibatkan aparatur negara. Sedangkan untuk wewenang, Bapekan mampu memberikan pertimbangan kepada Presiden mengenai sesuatu yang menghambat daya guna serta kewibawaan negara.
Badan tersebut diketuai oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Kedudukan ketua Bapekan setara dengan seorang menteri serta masuk dalam golongan F ruang VII. Sedangkan untuk anggota Bapekan sendiri antara lain: Samadikoen, Semaun, Arnold Mononutu, dan Letkol Soedirgo. Penunjukan Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai ketua tidak terlepas dari kiprah politiknya yang terkenal tegas dan bersih.
Dilansir dari Historia.id, hingga akhir Juli 1960 Bapekan telah menerima 912 pengaduan dari masyarakat. Dari jumlah laporan pengaduan tersebut, Bapekan mampu menyelesaikan 402 pengaduan. Sebuah capaian yang luar biasa dari sebuah lembaga anti rasuah yang baru terbentuk. Hal tersebut tentu tidak terlepas dari sikap responsif para pengurus serta pimpinan Bapekan dalam menindaklanjuti laporan masyarakat. Melalui Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 1962, Bapekan resmi dibubarkan. Pembubaran Bapekan tersebut merupakan bentuk inkonsistensi pemerintahan saat itu dalam upaya pemberantasan korupsi. Bapekan, di bawah pimpinan Sri Sultan Hamengkubuwono IX telah mencapai taraf kemajuan yang luar biasa. Di tengah situasi negara yang sedang darurat, Bapekan mampu menunjukkan kemampuannya dalam mengawasi serta menindaklanjuti laporan seputar kegiatan aparatur negara. Dalam perkembangan selanjutnya, upaya pemberantasan korupsi tetap menjadi fokus perhatian pemerintah. Pemberantasan korupsi tidaklah terhenti pada Bapekan, beberapa aturan hukum (UU Nomor 3 Tahun 1971) dan sejumlah organisasi anti rasuah (TPK dan Komisi 4) tetap dibentuk oleh pemerintah.
Penulis:
Kurniawan Ivan Prasetyo
Sumber:
Peraturan Presiden No 1 Tahun 1959.
Peraturan Presiden No 3 Tahun 1962.
Pour, Julius dan Nur Adji. 2012. Sepanjang Hayat Bersama Rakyat 100 Tahun Sri Sultan
Hamengkubuwono IX. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://historia.id/amp/politik/arti
cles/gesekan-dengan-paranDEdx6&ved=2ahUKEwja_pmJ9Y_tAhWRX30KHVWgDwYQFjAGegQIEBAB&usg=AOv
Vaw3HxyZXtkEZZ3L-_dfWA5W4&cf=1 diakses pada tanggal 3 Juni 2022.
Foto:
Keraton Yogyakarta

Sukarno: Asia Afrika dalam Konferensi
Berlokasi di gedung Merdeka Bandung, Konferensi Asia Afrika (KAA) diselenggarakan pada tanggal 18-25 April 1955 yang diikuti oleh 29 negara. Presiden Sukarno sebagai orator ulung memberikan semangat kepada seluruh peserta konferensi tersebut. Tak kurang dari sepuluh kali tepuk tangan panjang memotong pidato sang Proklamator. Konferensi Asia Afrika menghasilkan keputusan penting, sebagai prinsip hubungan internasional dalam rangka memelihara dan memajukan perdamaian dunia. Prinsip-prinsip tersebut dikenal dengan Dasasila Bandung. Dasasila Bandung merupakan sepuluh poin hasil pertemuan Konferensi Asia–Afrika yang dilaksanakan pada 18-25 April 1955 di Bandung, Indonesia. Pernyataan ini berisi tentang pernyataan mengenai dukungan bagi kedamaian dan kerjasama dunia.
Dampak dari KAA merupakan perubahan pada dinamika Perang Dingin, karena KAA dikreditkan sebagai pendahulu dari Gerakan Non-Blok (GNB) yang merupakan Blok Independen yang terdiri dari pelbagai negara dengan ideologi yang beragam. Tujuan dari konferensi ini adalah untuk mengimbangi skala geopolitik dunia dalam Perang Dingin, lalu kerjasama multilateral yang lebih dalam antara Asia dan Afrika.

Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2022 tentang Register Nasional dan Pelestarian Cagar Budaya
Setelah sebelas tahun terbit, Undang-undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, akhirnya pada tahun 2022 memiliki turunan Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2022 tentang Register Nasional dan Pelestarian Cagar Budaya. Dengan hadirnya Peraturan Pemerintah ini diharapkan dapat menjadi titik awal pencerahan terkait pelestarian Cagar Budaya ke depan.
Untuk melihat dan membaca salinan Peraturan Pemerintah tersebut dapat di unduh pada tautan di bawah ini.

Pemeliharaan Dan Perawatan Koleksi Berbahan Logam Museum Kepresidenan RI Balai Kirti
Salah satu tugas dan fungsi museum adalah melindungi dan melestarikan koleksi. Kegiatan pelestarian koleksi bertujuan untuk melindungi koleksi dan menghindari kerusakan atau kemusnahan benda koleksi. Tindakan penanganan terhadap koleksi khususnya yang terdapat di museum harus dilakukan secara rutin, agar koleksi dapat terjaga dengan baik.
Langkah dan upaya yang dilakukan untuk merawat koleksi adalah dengan melakukan konservasi. Konservasi adalah seluruh pengukuran dan tindakan yang bertujuan untuk melestarikan objek budaya sekaligus memastikan koleksi dapat diakses (dimanfaatkan) pada masa kini dan di masa yang akan datang. Konservasi meliputi tindakan preventif, perbaikan, dan restorasi. Seluruh tindakan yang dilakukan harus menghormati arti penting dan kondisi fisik dari objek budaya tersebut.
Kondisi fisik koleksi Museum Kepresidenan RI Balai Kirti secara umum masih terawat dengan baik. Perubahan fisik koleksi lebih disebabkan oleh fungial infected (debu, kering, dan serangga). Selain itu, terdapat beberapa koleksi beberapa bahan logam (seperti patung) yang sudah sedikit mengalami korosi, yang ditandai dengan noda kecil yang berwarna putih atau kehijauan. Oleh karena itu, upaya pencegahan dalam melakukan tindakan perawatan koleksi yang terindentifikasi mengalami perubahan fisik atau kerusakan dengan penanganan interpentive pada benda koleksi khususnya berbahan organik adalah dengan dilakukannya pengangkatan debu dan coating (melapisi warna benda koleksi), dengan menggunakan tepol, aquadest, dan pelindungan menggunakan paraloid B72, toluen (PA), aseton (PA), dan air jeruk.
Dari hasil konservasi terlihat bahwa keenam patung presiden sudah mengalami perubahan sebelum dan sesudah dilakukan konservasi. Namun demikian yang perlu diperhatikan setelah konservasi adalah perawatan secara berkala yang harus tetap dilakukan. Hal ini karena letak koleksi logam (patung) yang dekat dengan air dapat memunculkan belbagai permasalahan seperti korosi, debu, dan serangga, sehingga harus diperhatikan secara ekstra agar koleksi tetap terpelihara dengan baik, agar dapat dinikmati oleh masyarakat.

Presiden Abdurrahman Wahid dan Kejayaan Kemaritiman
Setelah dilantik menjadi Presiden pada tanggal 20 Oktober 1999, Abdurrahman Wahid mengangkat Laksamana Widodo AS sebagai panglima TNI pada 26 Oktober 1999 yang merupakan panglima TNI pertama diluar TNI AD. Ini menandakan bagaimana visi kelautan yang sedang disusun oleh KH. Abdurrahman Wahid. Pengangkatan Laksamana Widodo AS juga diikuti oleh pembetukan Departemen Ekplorasi Laut (DEL) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 355/M Tahun 1999.
Atas usulan DPR dan pelbagai pihak, Presiden Abdurrahman Wahid merevisi penyebutan dari Menteri Ekplorasi Laut menjadi Menteri Ekplorasi Laut dan Perikanan pada 1 Desember 1999. Perubahan ini dilanjutkan dengan penggantian nomenklatur DEL menjadi Departemen Ekplorasi Laut dan Perikanan (DELP) melalui keputusan Presiden Nomor 147 Tahun 1999. Setelah Sidang Tahunan MPR tahun 2000, nomenklatur DELP diubah menkadi Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) berdasarkan keputusan Presiden Nomor 165 Tahun 2000.
Selain itu untuk mendukung visi kemaritiman Indonesia, Presiden Abdurrahman Wahid juga mengesahkan beberapa peraturan seperti pengesahan dan pemakaian Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982 di Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 178 Tahun 1999, Pembentukan Dewan Maritim Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 161 Tahun 1999, kerjasama Indonesia dengan Jerman bidang pelayaran (Keppres No 55 Tahun 1999), Keppres No. 52 tentang pemakaian Konvensi Internasional tentang Tanggung Jawab Perdata Untuk Kerusakan Akibat Pencemaran Minyak. Dengan Kebijakan tersebut, Presiden Abdurrahman Wahid mengembalikan lagi perhatian yang terabaikan pada laut.
(Sumber : Buku Presiden Republik Indonesia 1945-2014, Kemendikbud RI, 2014)

Ahmad Tohari: Memberi Asa Dalam Sastra
Memori puluhan tahun itu masih bersarang di benak Ahmad Tohari. Suatu ketika, koran yang tengah ia baca ditarik oleh sang bibi sambil berkata “Kayak kamu mau jadi apa baca-baca koran!”.
Kejadian tersebut tentunya menyayat hati. Ditambah lagi kala itu masih umum terdengar hanya mereka yang ingin menjadi priayi, atau bahkan cukup priayi saja, yang dianggap pantas membaca koran.
“Perasaan saya ya cuma sakit saja” ucapnya.
Ahmad Tohari merasakan lompatan budaya yang luar biasa dalam hidupnya. Duduk di bangku sekolah, bercengkerama dengan buku dan menghabiskan waktu berjam-jam lamanya hanya untuk membaca menjadi barang mahal yang ia rasakan. Bukan tanpa alasan, pria asal Banyumas ini lahir di tengah-tengah keluarga yang saat itu belum sadar sepenuhnya budaya literasi.
“Ibu saya masih buta huruf, apalagi kakek saya. Jadi kalau sekarang saya jadi penulis itu sungguh lompatan budaya yang sangat jauh,” jelas sastrawan Ahmad Tohari, yang ditemui di kediamannya, di Banyumas, Jawa Tengah.
Tohari muda hampir menghabiskan sebagian waktunya di tanah kelahirannya. Ia lalu melanjutkan hidup di Purwokerto untuk menyelesaikan pendidikan SMA. Perkenalan dengan buku jauh terasa lebih syahdu di kota tersebut. Buku demi buku yang ia jelajahi seolah membuka cakrawala pengetahuan yang berujung pada lembaran cerita tentang tokoh-tokoh dalam karya sastranya.
Sastra dan Tohari bak menjadi dua sisi yang tak pernah terpisahkan. Jatuh cinta kepada dunia sastra sudah dirasakan Tohari sejak ia duduk di bangku SMA. Barulah selepas SMA pria yang pernah mendapatkan penghargaan di tingkat Asean ini mengirimkan karyanya ke berbagai media massa. Cerpennya yang berjudul Jasa-jasa Buat Sanwirya berhasill mengantongi Hadiah Harapan Sayembara Kincir Emas yang diselenggarkan Radio Nederlands Wareldomroep (1977). Tak lama kemudian, Kubah (1980) dan Ronggeng Dukuh Paruk (1982) terbit bergiliran dan memberikan sejarah baru di dunia sastra.
“Ada bermacam alasan kenapa saya menulis, karena saya ‘hamil’ tulisan. Sederhananya, kenapa kamu melahirkan karena ada bayi di dalam perutmu. Saya pun demikian, saya hamil sastra. Siapa yang menghamili? tentu lingkungan saya. Jadi harus dilahirkan,” tegasnya.
Cerita Untuk “Wong Cilik”
Tokoh-tokoh yang dilahirkan Tohari tak jauh dari sebuah realitas kehidupan. Ia tak hanya mengandalkan imajinasi, namun menghidupkan fenomena-fenomena yang pernah terjadi sebagai keutuhan cerita. Tentu dikemas sebagai karya sastra dengan fondasi pijar imajinasi dan bahasa yang memikat.
Itulah mengapa tokoh-tokoh yang dihadirkan Tohari sebagian besar merupakan potret kehidupan masyarakat miskin, seperti gelandangan, pelacur, pengemis yang diceritakan dengan penuh deskriptif. Dirinya berprinsip, menjadi penulis realisme merupakan kekukuhan hati yang tak bisa ditawar.
“Aliran saya realisme. Saya hanya mampu menulis berdasarkan pengalaman yang saya lihat, dengar, baca tentang kenyataan. Jadi kalau menulis sebetulnya mengekspresikan diri saya sambil beridealis. Saya tidak bisa menulis di luar masyarakat kecil, lebih nikmat menulis tentang gelandangan, orang gila, pelacur dan pengemis. Saya sadar karya ini melawan pasar, tapi ini mewakili jiwa saya” ujar pria yang tahun ini menginjak usia ke-70.
Tohari percaya, dengan menulis sebenarnya turut andil memberikan kontribusi terhadap kehidupan. Kata demi kata yang ia uraikan dalam sebuah kalimat sastra nantinya mampu membangkitkan secercah jiwa pembaca. Selain itu, sastra juga dapat mengasah daya kepekaan terhadap sesama.
“Karena sastra mengisi jiwa kita dengan kepekaan, sensitivitas. Orang yang banyak membaca sastra lebih peka terhadap sensitivitas sosial dibandingkan yang tidak sama sekali. Saya berharap anak-anak muda dapat memberikan kontribusi dan membangun bangsa ini, supaya mereka tidak melulu pintar dan cerdas namun juga peka,” tukasnya.

Indonesia, Negara Adidaya Kebudayaan
“DNA bangsa Indonesia adalah kebudayaan,” sebuah pernyataan yang berulang kali diucapkan oleh Presiden Joko Widodo sebagai penegasan bahwa Indonesia adalah negara yang berbudaya. Semangat itu nyata adanya. Sebagai negara yang terdiri dari ribuan pulau dengan ratusan bahasa dan suku di dalamnya, wajar saja Indonesia menjadi negara dengan kearifan budaya yang kuat.
Sebagai negara adidaya budaya, patut sewajarnya Indonesia memiliki payung hukum yang menaungi aset besar ini. Hadirnya UU No 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan kemudian menjawab dahaga para pelaku budaya yang sudah menanti selama 32 tahun pembahasan sang UU. 10 Objek Pemajuan Kebudayaan sudah ditetapkan, termasuk di dalamnya adalah Seni dimana musik menjadi salah satu mikro objek di dalamnya. Tidak dipungkiri, perkembangan musik di Indonesia bersumbangsih terhadap perkembang budaya bangsa.
Hadirnya Konferensi Musik pertama di Indonesia yang dilaksanakan pada Maret 2017 di Kota Ambon menjadi bukti kuatnya pengaruh musik pada perkembangan budaya. Hal ini sejalan dengan pernyataan Prof Agus Sardjono, guru besar Universitas Indonesia.
“Bangsa Indonesia mulai melakukan pengakuan yang transparan terhadap ekosistem musik Indonesia.”
Prof Agus Sardjono juga menyatakan dukungannya atas pendidikan yang berasaskan keseimbangan antara ilmu pengetahuan dan estetika. “Kekayaan musik, terutama musik pop di tanah air sudah waktunya diberikan ruang akademik melalui jurnal ilmiah untuk membangun ekosistem musik demi memajukan budaya Indonesia,” ujarnya.
Kerja Bersama Membangun Kebudayaan
Di sisi lain, dibutuhkan kerja keras bersama untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara berbudaya. Hilmar Farid, selaku Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud mengajak masyarakat untuk bahu-membahu mengangkat budaya sebagai identitas bangsa. “Pada tahun 2017, UNESCO mengatakan bahwa Indonesia adalah negara super power di bidang budaya. Dunia sudah mengakui Indonesia sebagai negara dengan ekosistem budaya yang sangat besar. Maka dibutuhkan kerja sama dari seluruh masyarakat Indonesia, dengan caranya masing-masing untuk memajukan aset berharga ini” tukas Hilmar Farid.
Saat ini Ditjenbud sedang mengawal proses terbentuknya Strategi Kebudayaan yang akan disahkan pada Desember 2018 dalam Kongres Kebudayaan Indonesia ke-100. Nantinya, dokumen ini akan menjadi arah Pemajuan Kebudayaan yang bertujuan untuk mewujudkan tujuan nasional, seperti diamanatkan dalam UU No 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Kebudayaan, Hulu Pembangunan Bangsa
“DNA bangsa Indonesia adalah kebudayaan”, ucap Presiden Joko Widodo berulang kali di banyak sambutan kenegaraan.
Keragaman budaya Indonesia menjadikan negara ini sangat besar dengan berbagai bentuk kearifan dan karya budaya. Menjadikan kebudayaan sebagai langkah berpijak dalam pembangunan adalah sebuah kepatutan. Namun demikian, tanpa arah yang jelas, dasar berpijak tersebut akan perlahan bermetemorfosa tanpa bentuk, sehingga dikhawatirkan tidak lagi menjadi kekuatan, namun sebaliknya.
Kebudayaan Indonesia yang sangat kaya ini, nyatanya, baru diberi payung hukum pada tahun 2017, tepatnya pada tanggal 27 April 2017, setelah menanti 35 tahun pembahasan. UU No 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, begitu judul UU yang menjadi dasar hukum untuk melestarikan dan memajukan kebudayaan Indonesia. Dalam UU tersebut, tertulis “Negara memajukan Kebudayaan Nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dan menjadikan Kebudayaan sebagai investasi untuk membangun masa depan dan peradaban bangsa demi terwujudnya tujuan nasional sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Lantas apa maksud dari poin tersebut?
Negara Sebagai Pandu Kebudayaan
Setelah UU No 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan disahkan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayan RI, melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan terus berupaya untuk membangun ekosistem kebudayaan Indonesia sebagai dasar hidup dan pembangunan bangsa. Berangkat dari pernyataan “Negara tidak menciptakan kebudayaan, masyarakat yang menciptakan,” maka negara mulai memfasilitasi upaya-upaya penyusunan rancangan kebudayaan sebagai haluan Indonesia. Dimulai dari penyusunan Strategi Kebudayaan yang berasal dari masyarakat melalui Pokok-Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah, yang kemudian berlanjut menjadi Pokok-Pokok Pikiran Kebudayaan Provinsi, dan bermuara menjadi Strategi Kebudayaan yang akan ditetapkan dalam Kongres Kebudayaan Indonesia 2018, 1 Desember 2018 mendatang. Strategi Kebudayaan ini kemudian akan diserahkan kepada Presiden untuk dijadikan sebagai Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan yang akan digunakan selama 20 tahun lamanya dengan peninjauan kembali setiap 5 tahun sekali.
Menempatkan budaya sebagai landasan pembangunan berarti setiap lini pembangunan Indonesia harus arif terhadap budaya itu sendiri. Kebudayaan sejatinya mencakup semua aspek dalam kehidupan manusia. Maka sudah seyogyanya, kebudayaan dilibatkan dalam setiap sektor pembangunan.

Museum Nasional Restorasi 78 Lukisan Seri “Ibu Bangsa”
Pukul dua siang di Museum Nasional, seorang wanita muda tampak memimpin kelompok kecil di sebuah ruangan di lantai 5. “Lab. Konservasi”, begitu nama yang tertera di papan yang menempel di atas pintu. Kelompok kecil itu fokus mendengarkan instruksi. Menggunakan jubah putih bak para peneliti di laboratorium menjadi “seragam” mereka kala itu, seolah memberi tanda bahwa pekerjaan ini bukan main-main.
Sebanyak tujuh lukisan pertama berukuran 32x32cm berjajar rapi di hadapan mereka masing-masing. Tak lama, para restorator itu memulai pekerjaannya. Menggunakan kaca pembesar, lukisan itu diperhatikannya dengan amat teliti. Matanya fokus pada satu titik, lalu berpindah lagi ke titik yang lain. Seolah menemukan sesuatu, ia lalu mencatat ‘temuan’ tersebut di sebuah kertas.
Perempuan itu adalah Monica Gunawan, ahli restorasi lukisan lulusan Interior Design di RMIT, Australia ini didatangkan khusus ke Museum Nasional untuk merestorasi 78 lukisan seri Ibu Bangsa karya Mas Pirngadie, seorang pelukis berbakat yang namanya tidak begitu dikenal masyarakat.
Monic, begitu ia akrab disapa menjelaskan, ada beberapa tahap yang harus dilakukan sebelum melakukan restorasi, salah satunya adalah condition report. “Condition report adalah tahap awal, di mana kami mencatat semua kondisi lukisan, ukuran, judul, tahun lukisan dibuat, beserta dengan medium, serta mengidentifikasi apa saja yang menjadi masalah pada lukisan tersebut. Setelah itu, baru kita dapat mengetahui tindakan apa yang dapat kita lakukan pada masing-masing masalah pada lukisan,” jelasnya.
Usai membuat condition report, lukisan-lukisan yang memiliki kerusakan difoto untuk mendapatkan perbandingan setelah dilakukannya restorasi. Tahap selanjutnya ialah cleaning. Pada tahap ini, para restorator menggunakan kayu kecil menyerupai lidi yang dililit kapas pada bagian ujungnya, kemudian kapas tersebut dibasahi larutan kimia, dan dioleskan ke permukaan lukisan.
Kapas putih itu perlahan berubah menjadi kecoklatan. Ia melakukannya berulang-ulang, sampai proses cleaning itu merata. Fungsi dari cleaning adalah untuk mengangkat debu dan kotoran yang menempel pada background maupun foreground lukisan, setelah itu baru ditindaklanjuti untuk masuk ke tahap vernis.
Menurutnya, proses restorasi tahap satu ini bisa dibilang ringan. Sebab sebelumnya, Museum Nasional telah membagi seri Ibu Bangsa karya Mas Pirngadie ke dalam tiga kelompok; Rusak Ringan, Rusak Sedang, dan Rusak Parah. Sebanyak 20 lukisan masuk dalam kategori rusak ringan dan ditangani pada tahap pertama.
“Pada pengerjaan tahap satu ini, kami melihat banyak kasus pengelupasan cat, vernis yang tidak rata, dan crack. Crack-nya pun hanya tipis saja, tidak terlalu serius,” kata Monic. Ia juga menjelaskan, vernis yang tidak merata bisa terjadi karena beberapa sebab.
“Mungkin saja vernis yang tidak rata itu karena pernah divernis di periode yang berbeda, sehingga permukaan lukisan tidak rata. Vernis yang tidak merata juga bisa disebabkan oleh restorator sebelumnya mungkin saja hanya memvernis bagian subjek, sementara background-nya tidak sama sekali ditemukan vernis. Bahkan, ada pula lukisan yang benar-benar tidak ada vernisnya sama sekali,” ia menambahkan.
Menurut Monic, restorasi lukisan sebaiknya dilakukan secara merata. Meski setiap karya memiliki ‘kasus’ nya masing-masing, namun setiap objek yang divernis harus mampu menghasilkan kualitas yang baik. “Setiap lukisan punya cerita masing-masing, cleaner dan vernis yang diterapkan juga tentu berbeda, namun pada restorasi kali ini, kami ingin 20 karya (di tahap awal) ini hasilnya merata, tidak ada yang lebih gloss, lebih mate, atau vernis sendiri. semua karya harus sama kualitanya, meskipun tingkat kerusakannya berbeda-beda,” kata Monic.