Artikel

Palu Godam Soekarno dalam Membasmi Korupsi



Palu Godam Soekarno dalam Membasmi Korupsi

Informasi

Pasca diproklamirkan sebagai sebuah negara merdeka, Indonesia harus dihadapkan dengan sejumlah permasalahan. Permasalahan tersebut meliputi kekerasan tribal, ketimpangan sosial, ageri militer Belanda, hingga praktik penyelewengan kekuasaan (korupsi). Permasalahan korupsi sebenarnya bukan fenomena baru dalam kehidupan sosial budaya masyarakat dan kenegaraan. Fenomena korupsi telah berlangsung sejak beberapa abad silam, bahkan mungkin semenjak awal kehidupan umat manusia modern yang telah mengenal sistem pembagian tugas dalam sebuah komunitas.

Sebagai fenomena penyimpangan sosial, korupsi telah masuk ke dalam kehidupan masyarakat serta kenegaraan di seluruh negara, baik negara maju maupun negara berkembang, tak terkecuali Indonesia. Di Indonesia, pemahaman mengenai perkembangan praktik korupsi dapat ditinjau dari segi historis dan budaya. Dari segi historis, dapat terlihat bagaimana praktik korupsi bergerak secara dinamis, mulai dari praktinya di setiap zaman yang tentunya diikuti oleh tindakan pencegahan sekaligus pemberantasannya. Sedangkan pemahaman praktik korupsi di Indonesia ditinjau dari segi budaya masa kerajaan di Nusantara, dengan birokrasi patrimonialnya, dan tetap dirawat bahkan ketika Indonesia sudah memproklamirkan diri sebagai negara merdeka. Sistem birokrasi patrimonial di Jawa tidak mengenal adanya pemisahan antara kepemilikan pribadi dengan kepemilikan negara. Sistem birokrasi patrimonial juga tetap terlihat dalam budaya politik Indonesia pasca kemerdekaan.

Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, praktik penyimpangan korupsi mendapat perhatian serius dari berbagai elemen masyarakat. Bahkan Soekarno melalui pidatonya yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” mengutuk keras tindak penyimpangan korupsi. Soekarno, pada kesempatan yang sama, juga memperkenalkan sebuah badan baru yang bertugas mengawasi kegiatan aparatur negara, bernama Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (Bapekan). Bapekan dibentuk melalui Peraturan Presiden No. 1 Tahun 1959.

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 1959, Bapekan mempunyai tugas untuk melakukan pengawasan dan penelitian terhadap kegiatan aparatur negara, serta pengurusan dan pengaduan seputar laporan terkait penyimpangan yang diduga melibatkan aparatur negara. Sedangkan untuk wewenang sendiri Bapekan mampu memberikan pertimbangan kepada Presiden mengenai sesuatu yang menghambat daya guna serta kewibawaan negara. Badan tersebut diketuai oleh Sri Sultan HB IX. Kedudukan ketua Bapekan setara dengan seorang menteri serta masuk dalam golongan F ruang VII. Sedangkan untuk anggota Bapekan sendiri antara lain: Samadikoen, Semaun, Arnold Mononutu, dan Letkol Soedirgo. Penunjukan Sri Sultan HB IX sebagai ketua tidak terlepas dari kiprah politiknya yang terkenal tegas dan bersih.

Dalam perkembangannya, Bapekan telah menerima 912 pengaduan dari masyarakat. Dari jumlah laporan pengaduan tersebut, Bapekan mampu menyelesaikan 402 pengaduan. Sebuah capaian yang cukup mentereng dari sebuah lembaga anti rasuah yang baru terbentuk. Hal tersebut tentu tidak terlepas dari sikap responsif para pengurus serta pimpinan Bapekan dalam menindaklanjuti laporan masyarakat.

Selain Bapekan, Presiden Soekarno selanjutnya membentuk Panitia Retooling Aparatur Negara atau Paran dengan ketua A.H. Nasution serta beranggotakan Muhammad Yamin dan Roeslan Abdulghani. Bentuk kegiatan Paran dalam pemberantasan korupsi yakni dengan melakukan Operasi Budhi. Selama melaksanakan tugas, Operasi Budhi mampu menangkap seorang perwira TNI Angkatan Laut, yakni Kolonel Pringadi. Ia divonis bersalah karena terbukti melakukan kejahatan pelanggaran hukum dengan menggelapkan/menyalahgunakan keuangan yang berada dalam penguasaan jabatannya meliputi jumlah Rp. 14 Juta. Selain itu Paran juga mampu menguak kasus korupsi yang terjadi di Pertamina serta perusahaan-perusahaan negara yang tentunya merugikan keuangan negara.

Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno juga terdapat beberapa aturan hukum yang dibentuk untuk menindak praktik penyimpangan korupsi. Aturan hukum pertama adalah Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957. Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957 adalah peraturan terkait upaya pemberantasan korupsi yang dikeluarkan oleh A.H Nasution selaku Kepala Staf Angkatan Darat dan sekaligus Penguasa Militer pada tanggal 9 April 1957. Aturan Peraturan Penguasa Militer terkait upaya pemberantasan korupsi selanjutnya mengalami perkembangan setelah dikeluarkannya Peraturan No. PRT/PM/08/1957. Peraturan tersebut berisi tentang pembentukan badan yang berwenang mewakili negara untuk menggugat secara perdata orang-orang yang dituduh melakukan berbagai bentuk perbuatan korupsi yang bersifat keperdataan.

Aturan hukum selanjutnya adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 24 tahun 1960. Perppu tersebut ditetapkan oleh Pejabat Presiden Republik Indonesia, Djuanda. Perppu No 24 tahun 1960 merupakan respon pemerintah terhadap tuntutan masyarakat terkait regulasi kebijakan anti korupsi. Perbedaan paling mendasar antara Perppu No 24 tahun 1960 dengan Peraturan Penguasa Militer No 06 tahun 1957 adalah tentang wewenang seorang Jaksa. Wewenang Jaksa dalam melakukan pengusutan serta penuntutan.

Upaya pemberantasan korupsi pada masa pemerintahan Presiden Soekarno harus dihadapkan dengan sejumlah hambatan. Mulai dari penegakan hukum yang tidak sesuai hingga benturan dengan kepentingan politik. Namun apa yang telah dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Soekarno merupakan langkah progresif dalam pemberantasan korupsi di negeri yang terbilang masih berusia “piyik”.

 

Penulis: Kurniawan Ivan Prasetyo


Komentar