Artikel

BAPEKAN, Kiprah Sri Sultan Hamengkubuwono IX dalam Mengawasi Aparatur Negara



BAPEKAN, Kiprah Sri Sultan Hamengkubuwono IX dalam Mengawasi Aparatur Negara

Informasi

Berbicara mengenai kiprah dan perjalanan hidup Sri Sultan Hamengkubuwono IX, kita akan dihadapkan pada perkembangan pemerintahan Republik Indonesia di masa awal kemerdekaan. Hal tersebut tidaklah mengherankan mengingat kiprah perjalanan politik Sri Sultan Hamengkubuwono IX memiliki peran sentral saat itu. Pada saat Indonesia diproklamirkan sebagai sebuah negara merdeka, beliau memiliki peran penting dalam pembangunan Republik Indonesia. Hal tersebut dibuktikan dengan dikeluarkannya Maklumat 5 September 1945 oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang berisi tentang pengakuan kemerdekaan Republik Indonesia serta penggabungan Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat ke dalam Republik Indonesia dengan status daerah istimewa.

Tidak hanya sekadar pengakuan kemerdekaan Republik Indonesia, Sri Sultan Hamengkubuwono IX juga menawarkan serta mempersilahkan pemerintahan dijalankan di Yogyakarta. Ibu kota pun akhirnya dipindah dari Jakarta ke Yogyakarta pada tahun 1946. Bahkan, seluruh biaya operasional pemerintahan pusat ditanggung oleh Keraton Yogyakarta serta Kadipaten Pakualaman. Dan, Ketika ibu kota dikembalikan ke Jakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX masih memberikan bantuan keuangan sebesar 6 juta gulden kepada pemerintah Indonesia.

Pasca perang mempertahankan kemerdekaan atau perang revolusi, karier politik Sri Sultan Hamengkubuwono IX semakin melesat. Hal tersebut dibuktikan dengan pernah menjabatnya beliau sebagai Menteri Pertahanan, Menteri Koordinator Ekonomi Keuangan dan Industri, Wakil Perdana Menteri, hingga Wakil Presiden, mendampingi Presiden Soeharto. Selain itu dalam bidang pendidikan dan sosial, Sri Sultan Hamengkubuwono IX pernah menjabat sebagai Ketua Kwartisr Nasional Gerakan Pramuka, hingga mendapat julukan sebagai “Bapak Pramuka Indonesia”.

Capaian tersebut tidak diperoleh hanya karena jabatan politiknya sebagai Raja Kasultanan Yogyakarta, namun murni karena pemikiran serta tindakan progresif seorang pemuda Jawa yang dibesarkan dalam lingkungan yang sebenarnya cukup kontradiktif. Lingkungan feodal keraton dan lingkungan liberal Barat. Namun dibalik capaian politik yang fantastis tersebut, banyak dari masyarakat yang belum mengetahui kiprahnya dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Gejolak Politik Masa Demokrasi Parlementer
Pembahasan seputar dinamika Demokrasi Parlementer menjadi landasan penting untuk kita mengetahui pertempuran elite politik di usia republik yang tergolong masih “piyik”. Di tengah usianya yang masih muda, Republik Indonesia harus dihadapkan dengan sejumlah permasalahan. Mulai dari kekerasan tribal, kemiskinan masif, pemberontakan di sejumlah daerah, hingga penyelewengan jabatan sejumlah elite politik. Hal tersebut mencapai puncaknya pada masa demokrasi parlementer (1950-1959).

Pada masa Demokrasi Parlementer gejolak politik acap kali melanda Republik Indonesia. Hal tersebut nampak dengan adanya pergantian atau pembubaran kabinet yang kurang mendapat dukungan politik dari berbagai fraksi atau bahkan diberi mosi tidak percaya oleh sejumlah fraksi. Mosi tidak percaya yang dikeluarkan sebenarnya banyak dilatarbelakangi oleh kepentingan sejumlah elite politik yang ingin berkuasa.

Akibat dari sejumlah permasalahan tersebut, negara selanjutnya dinyatakan dalam keadaan darurat. Kekuasaan berpindah dari tangan pemerintahan sipil ke tangan militer yang disebut Penguasa Perang Pusat (Peperpu). Mayor Jenderal A.H. Nasution diberi mandat sebagai ketuanya. Presiden Sukarno pun merespons situasi darurat akibat menjamurnya korupsi dalam tubuh pemerintahan. Hal tersebut disampaikan dalam pidatonya pada tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Dalam kesempatan tersebut, Sukarno menyatakan dibentuknya sebuah lembaga anti rasuah yang bernama Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (BAPEKAN). Landasan hukum pembentukan Bapekan adalah Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 1959.

Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Bapekan

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 1959 tersebut, Bapekan mempunyai tugas untuk melakukan pengawasan dan penelitian terhadap kegiatan aparatur negara, serta pengurusan dan pengaduan seputar laporan terkait penyimpangan yang diduga melibatkan aparatur negara. Sedangkan untuk wewenang, Bapekan mampu memberikan pertimbangan kepada Presiden mengenai sesuatu yang menghambat daya guna serta kewibawaan negara.

Badan tersebut diketuai oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Kedudukan ketua Bapekan setara dengan seorang menteri serta masuk dalam golongan F ruang VII. Sedangkan untuk anggota Bapekan sendiri antara lain: Samadikoen, Semaun, Arnold Mononutu, dan Letkol Soedirgo. Penunjukan Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai ketua tidak terlepas dari kiprah politiknya yang terkenal tegas dan bersih.

Dilansir dari Historia.id, hingga akhir Juli 1960 Bapekan telah menerima 912 pengaduan dari masyarakat. Dari jumlah laporan pengaduan tersebut, Bapekan mampu menyelesaikan 402 pengaduan. Sebuah capaian yang luar biasa dari sebuah lembaga anti rasuah yang baru terbentuk. Hal tersebut tentu tidak terlepas dari sikap responsif para pengurus serta pimpinan Bapekan dalam menindaklanjuti laporan masyarakat. Melalui Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 1962, Bapekan resmi dibubarkan. Pembubaran Bapekan tersebut merupakan bentuk inkonsistensi pemerintahan saat itu dalam upaya pemberantasan korupsi. Bapekan, di bawah pimpinan Sri Sultan Hamengkubuwono IX telah mencapai taraf kemajuan yang luar biasa. Di tengah situasi negara yang sedang darurat, Bapekan mampu menunjukkan kemampuannya dalam mengawasi serta menindaklanjuti laporan seputar kegiatan aparatur negara. Dalam perkembangan selanjutnya, upaya pemberantasan korupsi tetap menjadi fokus perhatian pemerintah. Pemberantasan korupsi tidaklah terhenti pada Bapekan, beberapa aturan hukum (UU Nomor 3 Tahun 1971) dan sejumlah organisasi anti rasuah (TPK dan Komisi 4) tetap dibentuk oleh pemerintah.

Penulis:
Kurniawan Ivan Prasetyo

Sumber:
Peraturan Presiden No 1 Tahun 1959.

Peraturan Presiden No 3 Tahun 1962.

Pour, Julius dan Nur Adji. 2012. Sepanjang Hayat Bersama Rakyat 100 Tahun Sri Sultan
Hamengkubuwono IX. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://historia.id/amp/politik/arti
cles/gesekan-dengan-paranDEdx6&ved=2ahUKEwja_pmJ9Y_tAhWRX30KHVWgDwYQFjAGegQIEBAB&usg=AOv
Vaw3HxyZXtkEZZ3L-_dfWA5W4&ampcf=1 diakses pada tanggal 3 Juni 2022.

Foto:
Keraton Yogyakarta


Komentar